Sebuah Penantian
Mengambil
kesempatan di dalam kesempitan, mungkin hal itu yang layaknya sekarang
dilakukan. Untuk bertahan hidup di sepanjang waktu. Hari demi hari sudah ku habiskan
tanpa seorang ibu yang menemani. Kira-kira lebih dari dua tahun lamanya, ibu
bekerja ke luar negeri menutupi seluruh hutang-hutang demi bertahan hidup . Sementara dengan
saudara-saudara kandungku disini tak cukup menghilangkan betapa rindu kepada
ibu yang jauh disana.
Rindu yang sekian lama dinanti, tapi ibu tak kunjung
datang. Walaupun kata-kata ibu di telepon yang membuatku berharap, tapi tetap saja itu menjadi senjata ampuh
untuk menarik ku ikut pergi bersamanya. Ibu rela menjadi seorang pedagang demi
menutupi semua hutang dan menghidupi anak-anaknya seorang diri. Entah apa yang
ada dalam pikiran ibu, begitu kuat dan tegar. Baginya, pekerjaan yang paling mulia adalah menjadi
seorang pedagang. Yang melayani setiap pembelinya dengan penuh kesabaran.
“Pokoknya Kathin, kau tak boleh hanya diam berusahalah
selagi waktu masih bersamamu, kejar cita-citamu setinggi langit dan apa yang
kau tanam akan kau petik hasilnya kelak.”
“Tapi Bu, aku hanya ingin ibu kembali bersamaku dan
kakak-kakak disini.Ku tau aku harus hidup mandiri tapi aku sangat
merindukanmu,” jawabku dengan penuh
harapan.
“Jangan membantah, Kathin. Ku tau kau anak Ibu yang
penurut, aku berjanji akan membawa kalian kesini. Jangan khawatir, Nak. Ku akan
menepati janji terhadap mu dan
kakak-kakakmu kelak. Doa Ibu selalu menyertai setiap langkahmu.”
Kami mengatakan apa yang dirasa. Bersamaan
dengan itu aku menghela napas panjang dengan perasaan teramat sedih bercampur
rindu. Titah ibu semakin yakin untuk berjuang dan menerapkannya kepadaku. Kemauan
ibu tidak akan dapat dipatahkan oleh
siapa pun.
Makin larut
keadaan yang ku alami, makin sering aku merasa kesepian. Tapi segelintir
kalimat yang ibu ucapkan selalu terlintas di kepala untuk selalu melangkah
kedepan meraih cita-cita yang sekian lama diimpikan. Apa kakak-kakak yang lain
juga seperti ini, aku tak tahu dan tak perlu tahu. Ku tahu diri dan akan
menjadi seorang wanita kuat seperti ibu.
Ku tak akan
menyerah, tak akan pernah ada kata menyerah di dalam kamus hidupku. Karena
beliau tidak suka dengan orang yang selalu menyerah. Takut menjadi orang yang
tidak bermanfaat, bila terus saja diam dan mengandalkan orang lain. Tak terasa
satu tahun pun berjalan, aku berhasil mengisi waktu kosongku dengan mencari
penghasilan sendiri walaupun yang didapat tidak seberapa. Langkahku semakin
yakin untuk menyusul ibu. Akan ku sisihkan sebagian penghasilan yang didapat
untuk membantu ibu. Sebagian lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama
kakak-kakak disini. Ya paling tidak bekerja menjadi pelayan toko, bisa
membuatku lebih menyadari betapa susahnya mencari pekerjaan di kota besar
seperti Jakarta ini.
Pendapat orang
lain tentang keluargaku tidak sepenuhnya benar, harus kuakui memang keadaan ini
membuatku terkesan tak adil. Hidup tanpa ibu dan ayah, sejak ibu pergi demi
berjuang hidup pun aku tidak mengiizinkan sepenuhnya. Tapi lain halnya dengan takdir Tuhan yang membuat rencana lain untuk
ayah. Sebenarnya tidak berharap sama dengan takdir-Nya. Mau bagaimana lagi,
kita tidak akan mengubah dan mengembalikan sosok ayah untuk bersama lagi. Waktu
berjalan lebih dari sembilan belas tahun, mencoba menghapus luka atas kepergian
ayah. Alhasil mimpi buruk pun tiba dan menjelma yang mengharuskan ibu untuk
pergi keluar negeri menjadi pedagang.
Di dalam impian
terakhir yang belum kucapai hingga detik ini, ingin sekali aku membahagiakan
keluarga dan kami berkumpul bersama kembali menjadi satu kesatuan keluarga yang
utuh seperti sembilan belas tahun yang lalu. Memilih dan merencanakan sesuatu
memang mudah untuk dilakukan setiap manusia, tapi takdir sepenuhnya milik Sang
Pencipta. Entah kami menyusul ibu atau ibu yang kembali bersama kami ke
Indonesia. Doa dan harapan selalu kulantunkan hanya demi
keutuhan keluarga. Hingga saat inilah ucapan ibu yang selalu menjadi kekuatan
utama untuk aku bertahan hidup sejauh ini.
Segala upaya
aku lakukan untuk mendapatkan penghasilan supaya aku tidak menyusahkan keluarga
yang lain. Kabarpun aku tak tau apalagi untuk meminta kepedulian dari mereka.
Tak banyak kata yang diungkapkan, hanya perasaan sakit mendalam yang selalu
hadir menyertai kepedihan ini. Begitu juga dengan perasaan yang ibu alami
disana. Batin terasa tersiksa, tapi harus bagaimana lagi? Aku bukan bayi yang
harus selalu dimanja, ditimang-timang dan diberi tahu tentang apa yang harus
dilakukan dan tidak harus dilakukan. Aku diciptakan untuk berusaha bukan
mengeluh, dilahirkan untuk bekerja bukan meminta. Malu dengan umur yang sudah
20 tahun, seharusnya mampu melanjutkan kuliah tetapi dengan keadaan seperti ini
apa boleh buat. Dengan niat dan usaha akhirnya Tuhan memberikan jalan.
Tuhan
memberikannya lewat kakak perempuanku, dia yang memberikan kesempatan untuk aku
bekerja di sebuah bank tempatnya sekarang bekerja. Memang ini sebuah kejutan
yang tidak disangka. bahkan pengalaman kerja yang paling berkesan. Jadi ingat
apa yang dikatakan ibu, “Pokoknya Kathin, tak boleh hanya diam berusahalah
selagi waktu masih bersamamu, kejar cita-citamu seitinggi langit dan apa yang
kau tanam akan kau petik hasilnya kelak.” Seakan-akan hal itu yang
membangkitkan semangatku kembali sedia kala. Sebuah kalimat yang dilihatnya
sederhana tetapi bisa membuat anaknya menjadi semangat kembali. Walaupun tak
bisa melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi, aku tetap bangga karena atas doa
dan usaha aku dapat bekerja untuk mempunyai penghasilan sendiri. Yang mana
penghasilan itu akan kusisihkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sebagiannya
lagi akan ditabungi untuk membantu biaya kebutuhan ibu. Harapan yang selalu hadir untuk ibu akhirnya
sudah terlampaui. Tinggal waktu yang menentukan kapan kami dapat berkumpul
bersama. Satu dua atau tiga tahun itu belum tentu. Tapi yang pasti aku akan selalu
menyayangkan setiap waktu yang terbuang begitu saja. Waktu yang diberikan hanya
satu kali seumur hidup, sama dengan kesempatan yang datang hanya diberikan satu
kali.
Karya
Anak Agung Kartika Sari
Komentar
Posting Komentar